Laman

Al-Musytarak Al-Lafdzi (Homonimi) dan Idhdhad (Antonim) Dalam Bahasa Arab


BAB 1
PENDAHULUAN
A.   Pendahuluan
Bahasa sebagai alat komunikasi verbal merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat abitrer dan dinamis, yang perubahannya dapat terjadi pada semua tataran linguistik, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan leksikon. Kedinamisan setiap bahasa itu terjadi karena bahasa merupakan hasil kebudayaan manusia. Bahasa akan mengalami perkembangan secara terus-menerus sesuai dengan perkembangan pemikiran dan kebutuhan manusia sebagai pemakai bahasa, hal itu mengakibatkan perubahan pada maknanya.
Dalam bahasa Indonesia terdapat kata-kata yang sama bentuknya, tetapi pengertiannya berbeda. Ada pula beberapa kata yang berbeda tetapi mengandung pengertian yang sama. Hal semacam ini disebut dengan sifat majemuk bahasa (Gudai, 1983 : 21). Sifat majemuk bahasa tersebut dapat menimbulkan kekacauan semantik  (makna), yaitu apabila ada dua orang yang  sedang berkomunikasi dengan menggunakan kata yang sama bentuknya tetapi berbeda artinya, atau sebaliknya. Dengan adanya hal tersebut, penutur bahasa bisa dituntut untuk bisa berbahasa yang dapat  mewakili pengertian atau pesan yang dimaksud. Begitu juga dengan Bahasa Arab yang terkadang juga terdapat kata yang sama bentuk dan sama dalam segi penuturannya, namun memiliki makna yang berbeda. Perbedaan ini disesuaikan  dengan "siyaq" atau konteks dalam bahasa Indonesia. 
Menurut  Chaer (1990 : 85), hubungan atau relasi kemaknaan mungkin menyangkut kesamaan makna  (sinonim), kebalikan makna (antonim), kelainan makna  (homonim), dan sebagainya. Penggunaan hubungan kemaknaan kata akan dapat membantu kita dalam penguasaan kosa kata,  termasuk Bahasa Arab.
B.   Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Al-Musytarak Al-Lafdzi (Homonimi)
2.      Hal-hal yang menyebabkan terjadinya Al-Musytarak Al-Lafdzi (Homonimi)
3.      Apa yang dimaksud dengan Iddhod (Antonim) dan Hal yang berkaitan dengan Iddhod (Antonim).
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Al-Musytarak Al-Lafdzi (Homonimi)
1.     Pengertian Al-Musytarak Al-Lafdzi (Homonimi)
Al-Musytarak Al-Lafdzi (Homonimi) adalah dua ujaran dalam bentuk kata yang sama lafalnya dan atau sama ejaannya/tulisannya. Jika dua ujaran kata yang sama bunyinya dan atau sama ejaannya telah diketahui berasal dari sumber bahasa yang berbeda, maka dua kata yang ejaan dan lafalnya sama itu merupakan homonym.
Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onama yang artinya “nama”, dan homo yang artinya “sama”. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagai “nama sama untuk  benda atau hal lain “. Secara semantik, verhaar (  1978 ) memberi definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frasa atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Adapun pengertian menurut para linguistic arab klasik Al-Musytarak Al-Lafdzi (Homonimi) adalah:
·         Satu Lafadz yang menunjukan pada dua atau lebih makna yang berbeda.
·         Satu lafadz yang sama dalam segi materi dan bentuknya dengan perbedaan diantara dua atau lebih dari segi maknanya.
·         الهومونيم : عبارة عن كلمات متشابهة في النطق والكتابة ولكنها مختلفة في الدلالة.
Al-Musytarak Al-Lafdzi (Homonimi) adalah beberapa kata yang sama, baik pelafalannya maupun bentuk tulisannya, tetapi maknanya berlainan.[1]
2.     Sebab-Sebab Terjadinya Al-Musytarak Al-Lafdzi (Homonimi).
Dalam bahasa Indonesia Al-Musytarak Al-Lafdzi (Homonimi)   dapat terjadi karena disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
Pertama, bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya, kata bisa yang berarti “racun ular” berasal dari bahasa Melayu sedangkan kata bisa yang berarti “sanggup” berasal dari bahasa Jawa. Contoh lain kata bang yang berarti “azan” berasal dari bahasa Jawa, sedangkan kata bang (kependekan dari abang) yang berarti “kakak laki-laki” berasal dari bahasa Melayu/dialek Jakarta. Kata asal yang berarti “pangkal, permulaan” berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata asal yang berarti “kalau” berasal dari dialek Jakarta.
Kedua, bentuk-bentuk yang bersinonimi itu terjadi sebagai hasil proses morfologi. Umpamanya kata mengukur dalam kalimat Ibu sedang mengukur kelapa di dapur adalah berhomonimi dengan kata mengukur dalam kalimat petugas agraria itu mengukur luasnya kebun kami. Jelas, kata mengukur yang pertama terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata kukur (me+kukur = mengukur); sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me+ukur = mengukur ).
Tidak jauh berbeda, dalam bahasa arab pun Al-Musytarak Al-Lafdzi (Homonimi) dapat disebabkan oleh kedua hal diatas, namun dalam bukunya yang berjudul "Ilm Ad-dilalah” Doktor Ahmad Mukhtar Umar membagi sebab-sebab terjadinya Al-Musytarak Al-Lafdzi (Homonimi)  ke dalam dua bagian, yaitu:
1.      Sebab-sebab internal, yang mencakup atas :
·         Perubahan dari segi pelafalan.
Perubahan dari segi pelafalan mencakup atas pertukaran posisi huruf  (dari segi morfologi/ shorof ) dan pergantian huruf atau ibdal.
Contoh pertukaran posisi huruf yaitu apabila kita mengambil sighot wazan "استفعل " pada lafadz " دام " maka akan menjadi kalimat " استدام  " dan dari kalimat "دمى" akan menjadi kalimat " استدمى " akan tetapi dikatakan bahwa fi'il " استدام" yang dapat berarti berkelanjutan namun juga dapat berarti "  " استدمىyang berari berdarah. Hal ini disebabkan kesalahan si penutur namun dapat dipahami oleh yang lainnya dan kemudian pada akhirnya banyak digunakan oleh penutur lainnya.
Contoh dari perubahan pelafalan yang mencakup ibdal, terdapat dua kalimat "حنك" dan " حلك" keduanya memiliki makna yang berbeda, namun orang arab memakainya dengan makna yang sama yaitu hitam. Maka dengan pendekatan pergantian "ل" menjadi "ن" yang disesuaikan antara kata kedua dengan kata yang pertama  dalam segi pelafalannya maka keduanya menjadi Al-Musytarak Al-Lafdzi (Homonimi). Lafadz  ""حنك bukan hanya dapat berarti "langit-langit mulut" tetapi juga berarti kegelapan yang seharusnya pengertan dari lafadz حلك"".
·         Perubahan dari segi makna.
Perubahan dari segi makna mencakup atas tujuan dan gaya penyampaiannya.
2.      Sebab-sebab eksternal, yaitu lebih cenderung kepada perbedaan lingkungan tempat bahasa itu digunakan.
3.     Contoh Al-Musytarak Al-Lafdzi (Homonimi) dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab
-         Contoh   Al-Musytarak Al-Lafdzi (Homonimi)  dalam Bahasa Indonesia
   Al-Musytarak Al-Lafdzi (Homonimi)  dalam Bahasa Indonesia ini pun dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
Homonimi antar morfem, tentunya antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat yang lainnya. Misalnya, antara morfem -nya pada kalimat: “Ini buku saya,  itu bukumu, dan yang disana bukunya“ berhomonimi dengan -nya pada kalimat  “Mau belajar tetapi bukunya belum ada”. Morfem -nya yang pertama adalah kata ganti orang ketiga sedangkan morfem -nya yang kedua menyatakan sebuah buku tertentu.
Homonimi antar kata, misalnya antara kata bisa yang berarti “racun ular” dan kata bisa yang berarti “sanggup, atau dapat” seperti sudah disebutkan di muka. Contoh lain, antara kata semi yang berarti “tunas” dengan kata semi yang  berarti “tunas” dan kata semi yang berarti “setengah”.
Homonimi antar frase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti “perasaan cinta dari seorang anak kepada ibunya” dan frase cinta anak yang berarti “cinta kepada anak dari seorang ibu”. Contoh lain, orang tua yang berarti “ayah ibu” dan frase orang tua yang berarti “orang yang sudah tua”. Juga antara frase lukisan Yusuf yang berarti “lukisan milik Yusuf, dan lukisan Yusuf yang berarti “lukisan hasil karya Yusuf”, serta lukisan Yusuf yang berarti “lukisan wajah Yusuf”.
Homonimi antar kalimat, misalnya, antara Istri lurah yang baru itu cantik yang berarti “lurah yanng baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik”, dan kalimat Istri lurah yang baru itu cantik yang berarti “lurah itu baru menikah lagi dengan seorang wanita yang cantik”.[2]
-         Contoh Al-Musytarak Al-Lafdzi (Homonimi) dalam Bahasa Arab
Dalam Bahasa Arab, kata (غرب) dapat bermakna arah barat (الجهة) dan juga bermakna timba (الدلو). Contoh lain, kata (الجد) memiliki 3 (tiga) makna, yaitu: (1) bapak dari ayah/ibuأبو الأم / أبو الأب) ), (2) bagian, nasib baik (الحظ، البحت), (3) tepi sungai  (شاطئ النهر). Demikian pula dengan kata (السائل) dapat bermakna orang yang meminta (الذي يسأل) dan bermakna sesuatu yang mengalir (الذي يسيل).[3]
Dalam Bahasa Arab Al-Musytarak Al-Lafdzi (Homonimi) bukan hanya terjadi pada kata, tetapi juga bisa terjadi pada kalimat. Misalnya, (أنا لا أريد نصحك) kalimat ini bisa memiliki makna ganda, yaitu (أنا لا أريد أن أنصحك) artinya: Aku tidak ingin aku menasehatimu, dan juga bermakna (أنا لا أريد تنصحني) artinya: Aku tidak ingin kamu menasehatiku.
Contoh lain Al-Musytarak Al-Lafdzi (Homonimi) dalam kalimat (أطعمت عشرين رجلا وامرأة). Kalimat ini bisa memiliki beberapa makna, yaitu: “Aku member makan 15 orang pria dan 5 wanita”, “Aku member makan 10 orang pria dan 10 wanita”, dan seterusnya.[4]
Dalam kajian ilmu Balaghah, homonimi disebut dengan istilah Jinas, yaitu kemiripan dua kata yang berbeda maknanya. Dengan kata lain, suatu kata yang digunakan pada tempat yang berbeda dan mempunyai makna yang berbeda.
Contoh, firman Allah SWT (QS. Ar-Ruum; 55) :
ويوم تقوم الساعة يقسم المجرمون ما لبثوا غير ساعة،  كذالك كانوا يؤفكون.
“Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; “mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (saja)”. Seperti demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran).”
Pada ayat di atas, terdapat kata الساعة. Kata itu disebut dua kali. Pertama, bermakna hari kiamat. Kedua, bermakna waktu sesaat.
B.   Idhdhad (Antonim)
1.     Pengertian Idhdhad (Antonim)
Menurut bahasa Idhdhad (Antonim)berasal dari kata  ضد يضد ضدا yang berarti menolak, berlawanan, atau kontradiksi. Sedangkan menurut istilah Idhdhad (Antonim)adalah sebuah lafadz yang menghendaki makna dan lawan katanya, atau dua kalimat yang berlawanan maknanya. Antonymy berasal dari Bahasa Yunani Kuno, onoma ‘nama’ dan anti ‘melawan’. Secara harfiah adalah nama lain untuk benda yang lain, ada yang mengatakan bahwa antonimi adalah opsisi makna dalam pasangan leksial yang dapat dijenjangkan (Kridalaksana, 1982).Hubungan makna yang terdapat diantara sinonim, hiponim dan polisemi adalah hubungan kesamaan-kesamaan, sedangkan antonym sebaliknya, dipakai untuk menyebut makna berlawanan. Antonimi merupakan hubungan diantara kata-kata yang dianggap memiliki pertentangan makna.
Dalam bahasa arab, Taufiqurrochman menyebutkan dalam bukunya, Bahwa Antonim disebut dengan التضاد atau الأضداد yaitu
التضاد: هو عبا رة عن وجود كلمتين فاكثر لها دلالة متضادة
    Antonomi (Al-tadhad) adalah dua buah kata atau lebih yang maknanya ‘dianggap’ berlawanan.
Disebut ‘dianggap’ karena sifat berlawanan dari dua kata yang berantonim ini sangat relatif. Ada kata-kata yang mutlak berlawanan, seperti kata hidup dengan mati, kata siang dengan malam. Ada juga yang tidak mutlak, seperti kata jauh dengan dekat, kata kaya dengan miskin.  Seseorang yang ‘tidak kaya’ belum tentu ‘miskin’, Begitu juga sesuatu yang tidak tinggi belum tentu rendah.[5]

2.     Macam - Macam  Idhdhad (Antonim),
Idhdhad (Antonim) terdiri  dari :
-          Perlawanan makna binary (pasangan)
-          Perlawanan makna bertingkat (gradable)
-          Perlawanan makna timbal balik (converse)
-          Perlawanan makna berhubungan dengan gerak dan arah (reverse)

a.     Perlawanan makna binary (pasangan)
Contoh :
o   موت  (kematian) yang berlawanan makna dengan حياة (kehidupan)
o   رجل  (laki-laki) yang berlawanan makna dengan مرأة (wanita)
o   نكح  (menikah) yang berlawanan makna dengan ‘azaba (lajang)
o   ظلم  (gelap) yang berlawanan makna dengan نور (cahaya)
b.     Perlawanan makna bertingkat (gradable)
Contoh :
o   كبير (besar), متوسط (sedang), صغير (kecil)
o   جفف  (musim kemarau), أمطار (musim hujan), ربيع (musim semi), خريف (musim gugur), شتاء (musim dingin), صيف (musim panas)
o   حار  (panas), فتير (panas kuku), حنيق (panas terik), سخين (hangat), دفيء (hangat kuku), عليل (sejuk), بريد (dingin)
c.  Perlawanan makna timbal balik (converse)
Contoh :
o   زوج (suami) berlawanan makna timbal balik dengan زوجة (istri)
o   طبيب  (dokter) berlawanan makna timbal balik dengan مريض (pasien)
o   أستاذ  (guru) berlawanan makna timbal balik dengan تلميذ (murid)
o   أباء  (ayah) berlawanan makna timbal balik dengan أبناء (anak)
d.  Perlawanan makna berhubungan dengan gerak dan arah (reverse)
Contoh :
o   Fauq (atas) berlawanan makna dengan taht (bawah)
o   Yamîn (kanan) berlawanan makna dengan syimâl (kiri)
o   Khurûj (keluar) berlawanan makna dengan dukhûl (masuk)
o   Jarra (menarik) berlawanan makna dengan dafa‘a (mendorong)[6]

c.      Perbedaan Pendapat Seputar Idhdhad (Antonim) Dan Penyebab Terjadinya  Idhdhad (Antonim) 
Mutadhadh merupakan jenis khusus lafadz isytirok lafdziy yang di pertentangan oleh para ulama-ulama Arab dalam menolak dan menerima musytarok lafdziy.
Setelah terjadi pertentangan ulama-ulama Arab, mereka mengumpulkan berbagai contoh. Adapun ulama yang terkenal dalam menolak mutadhadh diantaranya adalah Ibnu Darastawayhi, yang mengumpulkan antonim dan menulisnya dalam sebuah buku khusus yang dinamakan “ibtholul ithdad”. Diriwayatkan oleh Ibnu Sayyidah dalam bukunya “al-mukhassash” tentang pengingkaran itdhadh yang telah dibicarakan oleh para pakar bahasa dan menjadikan satu lafadz dari sesuatu dan lawannya.
Sedangkan kelompok lain berpendapat tentang banyaknya antonim, serta memberikan contohnya. Di antara tokoh-tokohnya adalah al-Khalil, Sibawayhi, Abu Ubaidah, Abu Zaid al-Anshori, Ibnu Faris, Ibnu Sayyidah, as-Tsa’labi, al-Mabrud, dan Suyuthi. Menurut Suyuthi dan Ibnu Sayyidah jumlah antonim yakni tidak lebih dari 100 lafadz. Akan tetapi, ada beberapa orang dari kelompok ini telah memahami tentang batasan-batasan uraian antonim serta contohnya. Mereka adalah Qutrub, al-Asma’iy, Abu Bakar bin Ambar, at-Tauzi, al-Birkaat bin Ambar dan Ibnu Dahan. Di antara kitab terkenal adalah kitab ithdad karangan Ibnu Ambar yang berpendapat bahwa ithdad lebih dari 400 lafadz.
Masing-masing kelompok berusaha untuk mempertahankan pendapatnya. Kelompok pertama yang menolak adanya itdhad tidak memperbolehkan untuk mengkaji beberapa contoh ithdad, sampai Ibnu Durusturiyyah seorang yang menolak adanya ithdad terpaksa mengakui adanya kata-kata asing dalam lafadz-lafadz tersebut. Beliau berkata: “hanya bahasalah yang memiliki makna yang berlawanan, walaupun memperbolehkan satu lafadz memiliki dua makna yang berbeda atau salah satu di antaranya merupakan antonim dari kata yang lain.”
Adapun kelompok yang lainnya mengatakan bahwa belum banyak lafadz idhdhad dalam bahasa arab. Oleh sebab itu banyak contoh-contoh yang diperkirakan kelompok ini merupakan bagian dari idhdhad yang memungkinkan dapat diuaraikan dalam bentuk lain. Misalnya penggunaan lafadz yang mujarrod at-tafaa’ul, seperti kata المفازة (kemenangan, keselamatan) berlawanan dengan kata الهلكة (kematian, kebinasaan), kata السليم (yang tidak bercacat, sempurna) berlawanan dengan kata الملدوغ (yang ada cacatnya), dan kata الريان (minuman) berlawanan dengan النهل (yang minum).
Selain itu kata idhdhad juga telah digunakan sebagai kata-kata ejekan atau menghina lawan bicara. Seperti kata العاقل (yang pintar) berlawanan dengan kata الأحمق (yang bodoh),  الأبيض (putih) berlawanan dengan kata  الأسود(hitam), الملان (penuh) berlawanan dengan kata الفراغ (kosong), المولى (tuan) berlawanan dengan kata العبد (budak), البصر (yang bisa melihat) berlawanan dengan kata الأعمى (yang buta), dan lain sebagainya.
Ada juga idhdhad yang lahir karena perpindahan makna aslinya ke makna majazi yang digunakan dalam balaghah. Sebagaimana firman Allah SWT. نسوا الله فنسيهم Kata kerja kedua tidak menggunakan makna aslinya, karena Allah tidak mungkin memiliki sifat pelupa akan tetapi bermakna الأهمل (membiarkan) dengan meninggalkan maksudnya dengan jalan isti’aroh. Isti’aroh ini sangat bagus untuk memberikan kepastian dalam menyamakan dua lafadz, dan menyamakan antara balasan dan perbuatan.
Ada pula jenis antonim yang menggunakan kalimat asli dan mengambil makna umumnya yang diikuti oleh dua antonim. Inilah yang dikatakan oleh ulama sebagai musytarok maknawiy. Misalnya kata القرء yang artinya haid dan suci, juga kata الزوج (pernikahan) yang menunjukan makna laki-laki dan perempuan, الصريم yang menunjukan makna siang dan malam, dan sebagainya. Serta ada antonim yang digunakan dari segi tashrif, misalnya kata  الممتاز dan kata  مرت.
  Sebab Terjadinya Lafadz Mutadhad:
1.       Banyaknya dialek Arab.
Beberapa lafadz antonim seperti kata وثب, dalam kabilah Mudhor maknanya melompat, sedangkan dalam kabilah Himyar artinya duduk. Kata السدفة dalam kabilah Tamim maknanya gelap, sedangkan dalam kabilah Tamim maknanya terang.
2.      Perkembangan makna asal.
3.      Menyimpangnya antonim dari makna aslinya.
Misalnya kata هجد yang artinya tidur dan menahan tidur
BAB III
KESIMPULAN
Al-Musytarak Al-Lafdzi (Homonimi) adalah beberapa kata yang sama, baik pelafalannya maupun bentuk tulisannya, tetapi maknanya berlainan. Contoh dalam Bahasa Arab, kata (غرب) dapat bermakna arah barat (الجهة) dan juga bermakna timba (الدلو). Contoh lain, kata (الجد) memiliki 3 (tiga) makna, yaitu: (1) bapak dari ayah/ibuأبو الأم / أبو الأب) ), (2) bagian, nasib baik (الحظ، البحت), (3) tepi sungai  (شاطئ النهر). Demikian pula dengan kata (السائل) dapat bermakna orang yang meminta (الذي يسأل) dan bermakna sesuatu yang mengalir (الذي يسيل).
Sedangkan Menurut bahasa Idhdhad (Antonim)berasal dari kata  ضد يضد ضدا yang berarti menolak, berlawanan, atau kontradiksi. Sedangkan menurut istilah Idhdhad (Antonim)adalah sebuah lafadz yang menghendaki makna dan lawan katanya, atau dua kalimat yang berlawanan maknanya. Antonymy berasal dari Bahasa Yunani Kuno, onoma ‘nama’ dan anti ‘melawan’. Secara harfiah adalah nama lain untuk benda yang lain, ada yang mengatakan bahwa antonimi adalah opsisi makna dalam pasangan leksial yang dapat dijenjangkan (Kridalaksana, 1982).
Daftar Pustaka
-          Chaer , Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta; PT Rineka Cipta, 1995.
-          Taufiqurrahman, Leksikologi Bahasa Arab, Malang: UIN-Malang Press, 2008.
-          Mukhtar umar, Ahmad. Ilm Ad-dilalah, Kuwait:Universitas Kuwait press,1982.



[1] Taufiqurrahman, “Leksikologi Bahasa Arab”, (UIN-Malang Press, 2008), hal. 67

[2] Abdul Chaer, “Pengantar Semantik Bahasa Indonesia”, (Jakarta; PT Rineka Cipta, 1995), hal. 95-96
[3] Taufiqurrahman, “Leksikologi Bahasa Arab”, (UIN-Malang Press, 2008), hal. 68
[4] Taufiqurrahman, “Leksikologi Bahasa Arab”, (UIN-Malang Press, 2008), hal. 70

1 komentar:

  1. buagus buanget n mantappp ! izin copy mbak...... kebetulan lagi cari2 artikel macam gini.
    بارك الله لك

    BalasHapus

thanks for Coment...