Laman

hukum menyemir dan mewarnai rambut

Hukum mewarnai,  menyambung rambut dan memakai konde ( cemara)

A.      Mewarnai atau menyemir rambut

1.       Mewarnai rambut
Maksud dari mewarnai rambut adalah mengganti warna rambut yang sudah menjadi warna uban ( putih ) dengan warna lainnya dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya: untuk berperang, menakuti musuh dan untuk membedakan antara  orang-orang muslim dengan orang Nasrani dan Nahudi (hadist Nabi Muhammad SAW), namun terkadang banyak sekali orang –orang yang  hidup pada saat ini menyalahgunakan hadist Rasulullah tersebut untuk malah memamerkan kelebihannya dan berhias diri saja.
Mengenai hal ini banyak sekali pendapat yang di keluarkan oleh para ulama tentang hukum mewarnai rambut  sehingga ada beberapa kesepakatan yang di perolehnya.
 
2.       Pendapat para ulama menengenai pewarnaan rambut atau jenggot
a.       Menurut Syaikh Yusuf Qardhawi , beliau mengatakan " Sehubungan dengan masalah ini ada satu riwayat yang menerangkan, bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak memperkenankan menyemir rambut dan merombaknya, dengan suatu anggapan bahwa berhias dan mempercantik diri itu dapat menghilangkan arti beribadah dan beragama, seperti yang dikerjakan oleh para rahib dan ahli-ahli Zuhud yang berlebih-lebihan itu. Namun Rasulullah s.a.w. melarang taqlid pada suatu kaum dan mengikuti jejak mereka, agar selamanya kepribadian umat Islam itu berbeda, lahir dan batin. Untuk itulah maka dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah s.a.w. mengatakan:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ - وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى - قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا وَقَالَ الآخَرُونَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ وَسُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ

"Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak mau menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan mereka." (Riwayat Bukhari)

Perintah di sini mengandung arti sunnat, sebagaimana biasa dikerjakan oleh para sahabat, misalnya Abubakar dan Umar. Sedang yang lain tidak melakukannya, seperti Ali, Ubai bin Kaab dan Anas.[1]

b.      Menurut Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al Adzim Abadi, dalam kitab "'Aunul ma'bud", beliau  memperbolehkan untuk menyemir rambut  dan  mengatakan:

( باب في الخضاب )
أي تغيير شيب الرأس واللحية

 ( يبلغ به ) أي يرفع الحديث إلى النبي صلى الله عليه و سلم ( إن اليهود والنصارى لا يصبغون ) أي لا يخضبون لحاهم
 وجاء صبغ من باب منع وضرب ونصر كما في القاموس ( فخالفوهم ) أي فأخضبوا لحاكم
 والحديث يدل على أن العلة في شرعية الخضاب هي مخالفة أهل الكتاب وبهذا يتأكد استحباب الخضاب وقد كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يبالغ في مخالفتهم ويأمر بها وهذه السنة قد كثر اشتغال السلف بها ولهذا ترى المؤرخين في التراجم لهم يقولون وكان يخضب ولا تخضب قال النووي مذهبنا استحباب خضاب الشيب للرجل والمرأة بصفرة أو حمرة ويحرم بالسواد على الأصح انتهى
قال المنذري وأخرجه البخاري ومسلم والنسائي وبن ماجة

c.       Menuru Imam Asy-Syaukani                                                       dalam kitabnya "nailul Author"  beliau juga memperbolehkan dengan menuliskan dua hadist Rasulullah, yaitu:

وعن محمد بن سيرين قال : ( سئل أنس بن مالك عن خضاب رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم فقال : إن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم لم يكن شاب إلا يسيرا ولكن أبا بكر وعمر بعده خضبا بالحناء والكتم )[2]
  Dengan begitu tidak ada larangan untuk menyemir rambut, karena Rasulullah pun sering memerintahkan untuk melakukan itu dengan catatan jangan memakai warna hitam. Hal ini di sebabkan di rasanya ketidak cocokan penyemiran rambut dengan warna hitam.  Bahkan dalam sebuah situs di internet[3] di temukan sebuah Qoul  yang memberikan hukum mewarnai rabut itu sunnat karena perintahnya langsung di berikan Nabi terhadap para sahabatnya.  Namun berbeda  dengan  zaman Rasulullah SAW, banyak orang-orang terutama kaum muda yang menyemir rambutnya  bukan di tujukan sebagaimana hal pada zaman Rasulullah, melainkan untuk bersenang-senang dan mengikuti trendi meskipun ada saja orang yang mewarnai ramutnya karena ada udhur ynag menuntutnya untuk mewarnai rambutnya, seperti adanya suatu penyakit. Mengenai hal ini banyak ulama yang kembali mempertentangkan tentang kebolehan yang ada pada hukum asal tersebut, mengingat Syaikh Abdul halim hakim pernah menulis dalam sebuah kitab ushul fiqih yang berbunyi :

"الحكم يدور مع العلة وجودا و عدما "[4]
"hukum itu berjalan sesuai dengan ilat yang ada dalam ada dan ke tidak adaanya"
Dengan  demikian  hukum bisa saja berubah sesuai dengan apa yang terjadi di tambahkan dengan  kaidah selanjutnya yang berbunyi:
" الأمور بمقاصدها"[5]
"sesuatu perkara itu sesuai dengan tujuannya"
3.       Petanyaan-pertanyaan mengenai pewarnaan rambut
a.       Bagaimana Jika Menyemir Uban Dengan Warna Hitam Untuk Membuat Penampilan Lebih Menarik?

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsamin pernah ditanyakan mengenai menyemir jenggot atau rambut kepala dengan warna hitam, apakah dibolehkan?
Syaikh rahimahullah menjawab:
Menyemir jenggot atau rambut kepala dengan warna hitam, maka aku katakan semuanya adalah haram. Alasannya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tapi hindarilah warna hitam”. Juga dalam masalah ini terdapat dalil dalam kitab sunan yang menunjukkan ancaman bagi orang yang menyemir ubannya dengan warna hitam.
Kemudian yang bertanya kembali berkata: Apakah tidak boleh juga kalau maksudnya adalah untuk mempercantik diri?
Syaikh rahimahullah menjawab:
Umumnya yang mewarnai ubannya dengan warna hitam, tujuannya adalah untuk mempercantik diri, agar terlihat lebih muda. Kalau tidak demikian, lalu apa tujuannya?! Perbuatan semacam ini hanya akan membuang-buang waktu dan harta. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 1/5, Mawqi’ Asy Syabkah Al Islamiyah)
b.      Bagaimana Jika yang Masih Muda Muncul Uban, Bolehkah Diubah (Disemir)?
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin ditanyakan: “Seorang pemuda sudah nampak padanya uban. Dia ingin merubah uban tersebut dengan warna hitam. Bagaimana hukum mengenai hal ini?”
Syaikh rahimahullah menjawab: Ini termasuk mengelabui (tadlis). Seseorang yang ingin menikah, lalu di kepalanya terdapat uban sedangkan dia masih muda, maka melakukan semacam ini termasuk mengelabui (tadlis). Akan tetapi kami katakan bahwa yang lebih utama jika dia ingin mengubah ubannya tadi, maka gunakanlah warna selain hitam. Dia boleh mencampur hina’ (pacar) dan katm (inai), lalu dia gunakan untuk menyemir ubannya. Pada saat ini, tidak nampak lagi uban. Bahkan perbuatan ini adalah termasuk ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu merubah uban dengan warna selain hitam. Adapun merubah uban tadi dengan warna hitam, maka yang benar hal ini termasuk perbuatan yang diharamkan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita menjauhi warna hitam ketika akan menyemir rambut, bahkan terdapat ancaman yang sangat keras mengenai hal ini dalam sabda beliau. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 188/23)
c.       Bagaimana Hukum Menyemir (Memirang) Rambut yang Semula Berwarna Hitam Menjadi Warna Lain?
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin pernah ditanyakan, “Apakah boleh merubah rambut wanita yang semula berwarna hitam disemir menjadi warna selain hitam misalnya warna merah?”
Syaikh rahimahullah menjawab:
Jawaban dari pertanyaan mengenai menyemir rambut wanita yang berwarna hitam menjadi warna selainnya, ini dibangun di atas kaedah penting. Kaedah tersebut yaitu hukum asal segala adalah halal dan mubah. Inilah kaedah asal yang mesti diperhatikan. Misalnya seseorang mengenakan pakaian yang dia suka atau dia berhias sesuai dengan kemauannya, maka syari’at tidak melarang hal ini. Menyemir misalnya, hal ini terlarang secara syar’i karena terdapat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ubahlah uban, namun jauhilah warna hitam”. Jika seseorang merubah uban tersebut dengan warna selain hitam, maka inilah yang diperintahkan sebagaimana merubah uban dengan hinaa’ (pacar) dan katm (inai). Bahkan perkara ini dapat termasuk dalam perkara yang didiamkan (tidak dilarang dan tidak diperintahkan dalam syari’at, artinya boleh -pen).
Oleh karena itu, kami dapat merinci warna menjadi 3 macam:
-          Pertama adalah warna yang diperintahkan untuk digunakan seperti hinaa’ untuk merubah uban.
-          Kedua adalah warna yang dilarang untuk digunakan seperti warna hitam untuk merubah uban.
-          Ketiga adalah warna yang didiamkan (tidak dikomentari apa-apa). Dan setiap perkara yang syari’at ini diamkan, maka hukum asalnya adalah halal .
Berdasarkan hal ini, kami katakan bahwa hukum mewarnai rambut untuk wanita (dengan warna selain hitam) adalah halal. Kecuali jika terdapat unsur merubah warna rambut tersebut untuk menyerupai orang-orang kafir, maka di sini hukumnya menjadi tidak diperbolehkan. Karena hal ini termasuk dalam masalah tasyabbuh (menyerupai) orang kafir, sedangkan hukum tasyabuh dengan orang kafir adalah haram. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: 
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Yang namanya tasyabbuh (menyerupai orang kafir) termasuk bentuk loyal (wala’) pada mereka. Sedangkan kita diharamkan memberi loyalitas (wala’) pada orang kafir. Jika kaum muslimin tasyabbuh dengan orang kafir, maka boleh jadi mereka (orang kafir) akan mengatakan, “Orang muslim sudah pada nurut kami.” Sehingga dengan ini, orang-orang kafir tersebut menjadi senang dan bangga dengan kekafiran yang mereka miliki. Dan perlu diketahui pula bahwa orang yang sering meniru tingkah laku atau gaya orang kafir, mereka akan selalu menganggap dirinya lebih rendah daripada orang kafir. Oleh karena itu, mereka akan selalu mengikuti jejak orang kafir tersebut.
Juga dapat kita katakan bahwa tasyabbuh seorang muslim dengan orang kafir saat ini adalah bagian dari loyal kepada mereka dan bentuk kehinaaan di hadapan mereka.
Juga dapat kita katakan bahwa tasyabbuh dengan orang orang kafir termasuk bentuk kekufuran karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”. Oleh karena itu, jika seorang wanita menyemir rambut dengan warna yang menjadi ciri khas orang kafir, maka menwarnai (menyemir) rambut di sini menjadi haram karena adanya tasyabbuh.” (Al Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 15/20)
Namun ada penjelasan lain dari Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan. Beliau hafizhohullah mengatakan:
“Adapun mengenai seorang wanita mewarnai rambut kepalanya yang masih berwarna hitam menjadi warna lainnya, maka menurutku hal ini tidak diperbolehkan. Karena tidak ada alasan bagi wanita tersebut untuk mengubahnya. Karena warna hitam pada rambut sudah menunjukkan keindahan dan bukanlah suatu yang jelek (aib). Mewarnai rambut semacam ini juga termasuk tasyabbuh (menyerupai orang kafir).” (Tanbihaat ‘ala Ahkamin Takhtashshu bil Mu’minaat, hal. 14, Darul ‘Aqidah)[6]
Jika kita melihat dari dua penjelasan ulama di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa hukum menyemir rambut, jika ada hajat semacam sudah beruban, maka pada saat ini dibolehkan bahkan diperintahkan. Namun apabila rambut masih dalam keadaan hitam, lalu ingin disemir (dipirang) menjadi warna selain hitam, maka hal ini seharusnya dijauhi.
  
B.      Menyambung rambut
1.       Menyambung rambut
Menyambung rambut adalah Menyambung rambut atau cemara merupakan mempertebal rambut dengan menambahnya dengan rambut lain. Dan yang dapat diserupakan dengan ini ialah pemakaian wig dan sanggul. Caranya adalah dengan menambahkan rambut lain pada rambut tersebut sehingga menjadi banyak atau lebih panjang.[7]
Banyak hadist Rasulullah yang mengharamkan pebuatan menyambung rambut, di antaranya:
 ١( حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالاَ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ح وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ - وَاللَّفْظُ لَهُ - حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِى بُكَيْرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ قَالَ سَمِعْتُ الْحَسَنَ بْنَ مُسْلِمٍ يُحَدِّثُ عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ جَارِيَةً مِنَ الأَنْصَارِ تَزَوَّجَتْ وَأَنَّهَا مَرِضَتْ فَتَمَرَّطَ شَعْرُهَا فَأَرَادُوا أَنْ يَصِلُوهُ فَسَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ فَلَعَنَ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ.[8]
٢)  حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالاَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ وَهُوَ ابْنُ مَهْدِىٍّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ح وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ حَدَّثَنَا مُفَضَّلٌ - وَهُوَ ابْنُ مُهَلْهَلٍ - كِلاَهُمَا عَنْ مَنْصُورٍ فِى هَذَا الإِسْنَادِ. بِمَعْنَى حَدِيثِ جَرِيرٍ غَيْرَ أَنَّ فِى حَدِيثِ سُفْيَانَ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ. وَفِى حَدِيثِ مُفَضَّلٍ الْوَاشِمَاتِ وَالْمَوْشُومَاتِ[9].

Dengan demikian banyak fatwa yang mengatakan bahwa menyambung rambut itu adalah perbuatan yang haram. Namun pada akhirnya banyak pertentangan di antara para ulama dalam menghukumi penyambungan rambut. seperti hukum makruh yang di keluarkan oleh para ulama madzhab Hanafi dan boleh yang di katakan oleh para ulama madzhab hambali.  Adapun madzhab syafi'i membagi hukum tersebut dengan beberapa catatan: di antaranya ada yang mutlak haram, ada yang boleh  dan  ada yang  dengan berdasarkan persetujuan suami. 
2.       Pendapat-pendapat tentang penyambungan rambut
a.       Pemerintahan Uni Emirat arab:
Pemerintah Uni Emirat Arab mengharamkan adanya  penyamungan rambut, sebagaimana yang tertera dalam dinding majlis fatwa UIA dengan fatwa nomor 59 di tulis:

          فيحرم على المرأة أن تصل شعرها بشعر آدمي آخر بلا خلاف، سواء كان الشعر الذي استخدمته شعر رجلٍ أو امرأةٍ، وسواء كان شعر زوجها أو محرمها أو غيرهما، ودليل ذلك ما رواه الشيخان أنَّ رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم قال: (لعن الله الواصلة والمستوصلة والواشمة والمستوشمة)
          ولأنه يحرم الانتفاع بشعر الآدمي وسائر أجزائه لكرامته، بل يدفن شعره وظفره وسائر أجزائه.
 فإن وصلته بشعر غير آدمي: فإن كان شعراً نجساً فهو حرام بلا خلاف، وهو شعر الميتة وشعر ما لا يؤكل لحمه إذا انفصل في حياته، فهو حرام أيضاً للحديث السابق، ولأن في لبسها لهذا الشعر حمل للنجاسة.
          وأما الشعر الطاهر من غير الآدمي، والشعر الصناعي فإن كان من غير وصل وإنما وضعته على رأسها وضعاً (كالباروكة) جاز لها وضعه ولو كانت غير متزوجة؛ قال النفراوي المالكي في الفواكه الدواني: " (وينهى النساء عن وصل الشعر) والنهي للحرمة عند مالك لخبر: {لعن الله الواصلة والمستوصلة} وحرمة الوصل لا تتقيد بالنساء لما فيه من تغيير خلق الله، وإنما خص النساء لأنهنَّ اللاتي يغلب منهنَّ ذلك عند قصر أو عدم شعرهن يصلن شعر غيرهن بشعرهن، أو عند شيب شعرهن يصلن الشعر الأسود بالأبيض ليظهر الأسود لتغريه الزوج، ومفهوم "وصل" أنها لو لم تصله بأن وضعته على رأسها من غير وصل لجاز كما نص عليه القاضي عياض، لأنه حينئذ بمنزلة الخيوط الملوية كالعقوص الصوف والحرير تفعله المرأة للزينة، فلا حرج عليها في فعله، فلم يدخل في النهي ويلتحق بأنواع الزينة "اهـ. والله أعلم.
b.      menurut Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al Adzim Abadi dalam kitabnya "aunul ma'bud", beliau berkata:
والحديث حجة للجمهور في منع وصل الشعر بشيء آخر سواء كان شعرا أم لا ويؤيده حديث جابر زجر رسول الله صلى الله عليه و سلم أن تصل المرأة بشعرها شيئا أخرجه مسلم
 وذهب الليث وكثير من الفقهاء أن الممتنع وصل الشعر  بالشعر وأما وصل الشعر بغيره من خرقة وغيرها فلا يدخل في النهي ويأتي في آخر الباب عن سعيد بن جبير أنه قال لا بأس بالقرامل والمراد بها خيوط من حرير أو صوف يعمل ضفائر تصل به المرأة شعرها وإليه ذهب الإمام أحمد كما يأتي ولبعضهم تفصيل اخر ذكره الحافظ في الفتح قال المنذري وأخرجه البخاري ومسلم والترمذي والنسائي
( الواصلة ) أي التي تصل الشعر سواء كان لنفسها أو لغيرها ( والمستوصلة ) أي التي تطلب فعل ذلك ويفعل بها ( والواشمة ) اسم فاعل من الوشم وهو غرز الإبرة أو نحوها في الجلد حتى يسيل الدم ثم حشوه بالكحل أو النيل أو النورة فيخضر ( والمستوشمة ) أي التي تطلب الوشمة
 قال النووي وهو حرام على الفاعلة والمفعول بها والموضع الذي وشم يصير نجسا فإن أمكن إزالته بالعلاج وجبت وإن لم يمكن إلا بالجرح فإن خاف منه التلف أوفوت عضوا ومنفعته أو شيئا فاحشا في عضو ظاهر لم يجب إزالته وإذا تاب لم يبق عليه اثم وإن لم يخف شيئا من ذلك لزمه إزالته ويعصي بتأخير انتهى [10]
c.       hasil penelusuran internet
Dari hasil penelusuran melalui internet menyebutkan bahwa kebanyakan dari web yang ada menyebutkan fatwa yang sama, yaitu:
Seorang perempuan diharamkan untuk menyambut rambutnya dengan rambut yang najis atau dengan rambut manusia. Ketentuan ini bersifat umum untuk perempuan yang sudah bersuami ataukah belum baik seizin suami ataukah tanpa izinnya.
Namun ulama-ulama mazhab hanafi hanya berpendapat makruhnya hal tersebut.
Pendapat beliau-beliau jelas keliru mengingat hadits berikut ini.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ ، وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ »
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat perempuan yang menyambung rambutnya dan perempuan yang meminta agar rambutnya disambung, perempuan yang mentato dan perempuan yang meminta agar ditato”(HR Bukhari no 5589).
Adanya laknat untuk suatu amal itu menunjukkan bahwa amal tersebut hukumnya adalah haram. Alasan diharamkannya hal ini adalah adanya unsur penipuan disebabkan merubah ciptaan Allah. Hal ini juga dikarenakan haramnya memanfaatkan rambut manusia karena terhormatnya manusia. Pada asalnya potongan rambut manusia itu sebaiknya dipendam.
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِى بَكْرٍ – رضى الله عنهما – أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَتْ إِنِّى أَنْكَحْتُ ابْنَتِى ، ثُمَّ أَصَابَهَا شَكْوَى فَتَمَرَّقَ رَأْسُهَا ، وَزَوْجُهَا يَسْتَحِثُّنِى بِهَا أَفَأَصِلُ رَأْسَهَا فَسَبَّ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ
Dari Asma’ binti Abi Bakr, ada seorang perempuan yang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Telah kunikahkan anak gadisku setelah itu dia sakit sehingga semua rambut kepalanya rontok dan suaminya memintaku segera mempertemukannya dengan anak gadisku, apakah aku boleh menyambung rambut kepalanya. Rasulullah lantas melaknat perempuan yang menyambung rambut dan perempuan yang meminta agar rambutnya disambung” (HR Bukhari no 5591 dan Muslim no 2122).
عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَمِعَ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِى سُفْيَانَ ، عَامَ حَجَّ عَلَى الْمِنْبَرِ ، فَتَنَاوَلَ قُصَّةً مِنْ شَعَرٍ وَكَانَتْ فِى يَدَىْ حَرَسِىٍّ فَقَالَ يَا أَهْلَ الْمَدِينَةِ ، أَيْنَ عُلَمَاؤُكُمْ سَمِعْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَنْهَى عَنْ مِثْلِ هَذِهِ ، وَيَقُولُ « إِنَّمَا هَلَكَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ حِينَ اتَّخَذَهَا نِسَاؤُهُمْ » .
Dari Humaid bin Abdirrahman, dia mendengar Muawiyah bin Abi Sufyan saat musim haji di atas mimbar lalu mengambil sepotong rambut yang sebelumnya ada di tangan pengawalnya lantas berkata, “Wahai penduduk Madinah di manakah ulama kalian aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda melarang benda semisal ini dan beliau bersabda, ‘Bani Israil binasa hanyalah ketika perempuan-perempuan mereka memakai ini (yaitu menyambung rambut’ (HR Bukhari no 3281 dan Muslim no 2127).
Ringkasnya sebagaimana yang dikatakan oleh penulis Fiqh Sunnah lin Nisa’ hal 413,
“Sesungguhnya seorang perempuan tidaklah diperbolehkan untuk menyambung rambutnya dengan rambut yang lain semisal memakai wig baik dengantujuan menyenangkan suami atau orang lain. Hukumnya adalah haram”.
Disambung dengan bukan rambut orang
Jika rambut disambung dengan bukan rambut manusia namun tergolong rambut yang suci (baca: tidak najis) maka menurut pendapat yang dinilai sebagai pendapat yang benar di antara para ulama bermazhab Syafii hukumnya adalah haram jika perempuan tersebut tidak bersuami. Sedangkan menurut pendapat yang lain di kalangan ulama-ulama mazhab Syafii, hukumnya adalah makruh.
Jika perempuan tersebut bersuami maka ada tiga pendapat di kalangan para ulama bermazhab Syafii.
Pendapat yang dinilai paling tepat adalah boleh jika dengan izin suami. Namun jika tanpa izin suami hukumnya haram.
Pendapat kedua, mengharamkannya secara mutlak. Pendapat ketiga, tidak haram dan tidak makruh secara mutlak (baik dengan izin ataupun tanpa izin suami).
Sedangkan para ulama bermazhab Hanafi membolehkan seorang perempuan untuk menyambung rambut asalkan bukan dengan rambut manusia agar rambut nampak lebih banyak. Mereka beralasan dengan perkataan yang diriwayatkan dari Aisyah.
Dari Sa’ad al Iskaf dari Ibnu Syuraih, Aku berkata kepada Aisyah bahwasanya Rasulullah melaknat perempuan yang menyambung rambutnya. Aisyah lantas berkomentar,
قالت يا سبحان الله وما بأس بالمرأة الزعراء أن تأخذ شيئا من صوف فتصل به شعرها تزين به عند زوجها إنما لعن رسول الله صلى الله عليه وسلمالمرأة الشابة تبغى فى شيبتها حتى إذا هى أسنت وصلتها بالقلادة.
“Subhanallah, tidaklah mengapa bagi seorang perempuan yang jarang-jarang rambutnya untuk memanfaatkan bulu domba untuk digunakan sebagai penyambung rambutnya sehingga dia bisa berdandan di hadapan suaminya. Yang dilaknat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah seorang perempuan yang rambutnya sudah dipenuhi uban dan usianya juga sudah lanjut lalu dia sambung rambutnya dengan lilitan (untuk menutupi ubannya, pent) [Riwayat ini disebutkan oleh Suyuthi dalam Jami’ al Ahadits no 43260 dan beliau komentari sebagai riwayat Ibnu Jarir].
Sedangkan para ulama bermazhab Maliki mengharamkan menyambung rambut tanpa membedakan apakah disambung dengan rambut ataukah disambung dengan bukan rambut.
Di sisi lain para ulama bermazhab Hambali hanya mengharamkan jika rambut disambung dengan rambut baik rambut manusia ataupun rambut hewan, baik dengan izin suami ataukah tanpa izin suami. Akan tetapi mereka mengatakan bahwa tidaklah mengapa jika seorang perempuan mengikat rambutnya jika tidak dengan rambut jika ada kebutuhan.
Namun di antara pendapat Imam Ahmad adalah melarang seorang perempuan untuk menyambung rambutnya baik disambung dengan rambut, bulu kambing ataupun tumbuh-tumbuhan yang bisa dijadikan sebagai hiasan rambut
Penulis Fiqh sunnah lin Nisa’ hal 413,
“Pendapat yang paling kuat di antara dua pendapat ulama yang ada adalah diperbolehkan bagi seorang perempuan untuk menyambung rambutnya dengan benang sutra, bulu domba ataupun potongan-potongan kain dan benda-benda lain yang tidak menyerupai rambut. Perbuuatan ini tidaklah dinilai termasuk menyambung rambut, tidaklah pula sejenis dengan tujuan orang yang menyambung rambut. Hal ini hanyalah untuk berdandan dan berhias. Menurut Nawawi inilah pendapat al Qadhi ‘Iyadh dan Ahmad bin Hambal”.
Akan tetapi -insya Allah- pendapat yang lebih tepat adalah pendapat ulama yang melarang untuk menyambung rambut secara mutlak dengan benda apapun baik potongan kain ataupun yang lainnya. Hal ini dikarenakan menimbang dua hadits berikut ini.
عَنْ قَتَادَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ مُعَاوِيَةَ قَالَ ذَاتَ يَوْمٍ إِنَّكُمْ قَدْ أَحْدَثْتُمْ زِىَّ سَوْءٍ وَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الزُّورِ. قَالَ وَجَاءَ رَجُلٌ بِعَصًا عَلَى رَأْسِهَا خِرْقَةٌ قَالَ مُعَاوِيَةُ أَلاَ وَهَذَا الزُّورُ. قَالَ قَتَادَةُ يَعْنِى مَا يُكَثِّرُ بِهِ النِّسَاءُ أَشْعَارَهُنَّ مِنَ الْخِرَقِ.
Dari Qotadah, dari Said bin Musayyib sesungguhnya Muawiyah pada suatu hari berkata, “Sungguh kalian telah mengada-adakan perhiasan yang buruk. Sesungguhnya Nabi kalian melarang perbuatan menipu”. Kemudian datanglah seseorang dengan membawa tongkat. Diujung tongkat tersebut terdapat potongan-potongan kain. Muawiyah lantas berkata, “Ingatlah, ini adalah termasuk tipuan”. Qotadah mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah potongan-potongan kain yang dipergunakan perempuan untuk memperbanyak rambutnya (HR Muslim 2127).
Tentang hadits ini, Syaikh Al Albani mengatakan,
“Riwayat ini sangat tegas menunjukkan bahwa menyambung rambut dengan bukan rambut baik dengan potongan kain ataupun yang lainnya termasuk dalam hal yang terlarang” (Ghayatul Maram hal 68, cetakan al Maktab al Islami).
Sebelumnya, Ibnu Hajar sudah berkomentar,
“Hadits di atas adalah dalil mayoritas ulama untuk melarang menyambung rambut dengan sesuatu apapun baik berupa rambut ataupun bukan rambut” (Fathul Bari 17/35, Syamilah).
زَجَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ تَصِلَ الْمَرْأَةُ بِرَأْسِهَا شَيْئًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang perempuan untuk menyambung rambut kepalanya dengan sesuatu apapun” (HR Muslim no 2126 dari Jabir bin Abdillah).[11]

Namun dari berbagai referensi tersebut hukum haram lah yang mendominasi, selain dengan alasan adanya unsur penipuan ada juga unsur perubahan ciptaan Allah. Maka dari itu sebaiknya mensyukuri saja apa yang telah Allah berikan agar dapat menghindari dari apa  yang telah jelas di haramkan oleh rasulullah SAW mengenai penyambungan rambut.













[2]نيل الأوطارللشيخ  الإمام الشوكاني   ١ /١٤٦, الشاملة    
[3] http://thejavaboyz.blogspot.com/2008/09/hukum-menyambung-rambut.html
[4]مبادي أولية للشيخ عبد الحميد حكيم, ص: ٤٧ ,السعدية فترا
[5]   ,السعدية فترا ٢٢ مبادي أولية للشيخ عبد الحميد حكيم, ص:
[6] http://rumaysho.com/hukum-islam/umum/2873-hukum-menyemir-rambut.html
[7] http://zenystain.blogspot.com/2011/06/hukum-menyambung-rambut-cemara.html
[8]الشاملة  صحيح مسلم, ص : ١٦٦/٦
[9]الشاملة   ٦ ص١٦٧/  صحيح مسلم,
[10] كتاب عون المعبود ص:١٤٥-١٥./١١ الشاملة
[11] Http:// www.utadzaris.com/hukum-menyambung-rambut.htm

إبدال


الإبدال


الأمثلة
أ                  ب                ج

دعا               اِدْتعى            اِدَّعى
ذكر               اِذْتكر             اِذدكَرَ
زحم              اِزْتحم           اِزْدَحم

د                  هـ                     و   

صحب           اِصْتَحب                  اِصْطَحَب
ضرب           اِضْترَب                   اِضْطَرب
طلع               اِطْتَلع                      اِطَّلع
ظلم               اِظْتَلم                      اِظْطَلم

البحث :

على (افتعل),و لكنك حينما تنظر إلى هذه الأفعال بقسم (و)لا تجد تاء افتعل بل تجد مكانها طاء, ومن ذلك تحكم بان كل فعل ثلاثي أوله صاد أو ضاد أوطاء أو ظاء, إذا بنى على افتعل تبدل فيه تاء افتعل طاء ,و مثل افتعل في ذلك مصدره و مشتقاته. بقسم(أ)أفعال ثلاثية مبدوءة بدال أو زال أو زاي ,وفي قسم (ب)ترى الأفعال نفسها بعد بنائها على صيغة (افتعل), و لكنك إذا نظرت إلى الأفعال بقسم(ج),لم تجد تاء افتعل و رأيت مكانها دالاً,و من ذلك تستطيع أن تستنبط أن كل فعل ثلاثي أوله دال أو ذال أو زاي , إذا بنى على افتعل تبدل فيه تاء افتعل دالاً,و مثل افتعل مصدره و مشتقاته.
وبقسم (د)أفعال ثلاثية مبدوءة بصاد أو ضاد أو طاء أو ظاءوفي قسم (هـ )ترى الأفعال نفسها بعد بنائها
القواعد :
- إذا كان أول الثلاثي دالاً أو ذالاً أو زاياً وبنى على اِفتعل ,تبدل تاء افتعل دالاً,و مثل ذلك يحصل في مصدر افتعل و مشتقاته.
- إذا كان أول الثلاثي صاداً أو ضاداً أو طاءً أو ظاءً و بنى على افتعل ,تبدل تاء افتعل طاء,و مثل ذلك يحصل في مصدره و مشتقاته. [1]

هو وضع حرف مكان حرف آخر دون اشتراط أن يكون حرف علة أو غيرة[2]

 
المثال
حالات الإعلال والإبدال
وفق ـــ اتفق
يسر ـــ اتسر
وعد ـــ اتعد
وزن ـــ اتزن

صبر ـــ اصطبر
ضرب ــ اضطرب
ضلع ـــ اطلع
طعن ـــ اطعن
طهر ـــ اطهر . ظلم ـ اظطلم

دان ـ ادتان ـ اددان ـ ادان
زجر ـ ازدجر
زهر ـ ازدهر
زها ـ ازدهى
ذكر ـ اذدكر ـ اذكر / ادكر
) ما ينظرون إلا صيحة واحدة تأخدهم وهم يخصمون (
أي يختصمون




سماو ــ سماء
بناي ــ بناء

 
قول ــ قال ــ قائل ( فاعل )
بيع ــ يباع ــ بائع (فاعل )

 صحيفة ـ صحايف ـ صحائف
عجوز ـ عجايز ـ عجائز

نيف ـ نيايف ـ نيائف
أو ـ أواول ـ أوائل


واصلة ـ وواصل ـ أواصل


غايي ، رايي (3 ياءات ) . غائي ، رائي


خطيئة تجمع خطايئ - خطائى- خطائي –خطائيْ – خطاءا – خطايا
أُومن - أومن – إئمان – إيمان
مفتاح – مفات اح – مفاتيح مفيتيح


كتاب – كتياب – كتيب
سوط – سياط / رضو – رضي / أعطوت وزكوت – أعطيت وزكيت/صام – صوام – صيام /
موعاد- ميعاد / دنوى – دنيا /


سيود – سيد


عصا عصوو- وعصوي – عُصِيّ –عِصي



لعب – لويعب


أيقن . يبقن ( يوقن ) . ميقن(موقن )

تقيا + فتيا – تقوى + فتوى
قول – قال ، بيع – باع

قال – يَقْوُل – يقول
باع – يبْيع – يبيع
أكرم – يُؤْكْرم – يُكرم
باع ( اسم مفعول ) مبيوع – مبيع
1. إن كان الفعل مثالاً واوياً أو يائياً تبدل فاء الافتعال تاء علي وزن افتعل .




2.إن كانت تاء الافتعال ( افتعل ) أحد أحرف الإطباق
(ص ، ض ، ط ، ؟ ) تبدل تاء الافتعال طاء علي وزن افتعل .



3. إن كانت فاؤه دالاً أو ذالاً تبدل تاؤه دالاً مهملة ( علي وزن افتعل ) .




ملاحظة : أجاز بعضهم إبدال تاء الافتعال صاداً مع الإدغام ورد في القرآن الكريم



4.قلب الواو والياء همزة :
أ – إذا تطرفت الواو أو الياء بعد ألف زائدة تقلب إلي همزة


ب - أن تقع الواو أو الياء عيناً لاسم الفاعل ويكون الفعل أجوف عينه قد أعلت فإنها تقلب إلي همزة

ج - أن تقع الواو أو الياء بعد ألف مفاعيل علي أن تكون الواو أو الياء مدة ثالثة في المفرد

د- أن تقع الواو أو الياء بعد حرف علة علي أن يفصل بينهما ألف ( مفاعل ) أو ما يشبهه في الحروف ونوع الحركات

ه- أن تجتمع واوان في أول الكلمة بشرط أن تكون الثانية واواً غير منقلبة عن حرف آخر .

و- عند النسبة إلي غاية ، راية



5-قلب الهمزة واواً أو ياء : وذلك علي نمط الأمثلة التالية .


6-قلب الألف ياء مثل أ . أن تقع بعد كسرة
ب. بعد ياء التصغير


7.قلب الواو ياء







نقول في جمع :



8.قلب الألف واو عند التصغير


9.قلب الياء واواً



10.قلب الواو والياء ألفاً

11. الإعلال بنقل الحركة


12.الإعلال بالحذف
الإبدال
الإبدال حذف حرف ووضع حرف آخر مكانه مثل: ( تلعثم تلعذم) وهو بهذا المعنى العام يشمل الإعلال بالقلب وبعض أشكال تخفيف الهمزة، وبعض أشكال الوقف، وقد درج الصرفيون على تخصيص مصطلح الإبدال بظاهرة التبدل الصوتي التي تصيب الأحرف الصحيحة فقط.
والإبدال بهذا المعنى الضيق على نوعين:
 الأول: إبدال سماعي لا يخضع لقواعد، وليس له ضوابط عامة، كإبدالهم القاف من الكاف في ( وكنة وقنة ) والحاء من العين في ( ربع ربح) وهذا النوع ليس تبدلا صوتيا اقتضاه تفاعل الأصوات بعضها ببعض، وإنما هو ضرب من اختلاف اللهجات.
الثاني: إبدال قياسي ناجم عن تفاعل الأصوات وتأثير بعضها في بعض، ويسمى هذا النوع بالإبدال الصرفي الشائع أو الضروري أو اللازم والأجدر من ذلك أن يسمى الإبدال الصوتي، لأنه عبارة عن تبدلات صوتية لا يترتب عليها تغيير في معنى الكلمة الصرفي أو وظيفتها النحوية، ويمكن حصر مظاهره في القوانين الآتية:
1- تقلب تاء افتعل ومشتقاته ومصدره ثاء إن كان فاء الكلمة ثاء وتدغم فيها (تأثر اثتأر  اثثأر اثأر)
2- تقلب تاء افتعل ومشتقاته ومصدره طاء، إن كان فاء الكلمة أحد حروف الإطباق (ط- ظ- ص – ض) (صفا اصتفى اصطفى) (ضجع اضتجع اضتجع اضطجع) ( طرد اطترد اطرد)، ( ظلم اظتلم اظطلم اظلم )، ويجوز بعد هذا القلب أن تقلب الطاء حرفا من جنس ما قبلها وتدغم فيه، ( اصفى – اضجع –اطرد- اظلم).
3- تقلب تاء افتعل ومشتقاته ومصدره دالا إذا كان فاء الكلمة أحد هذه الحروف (د- ذ – ز)، ( دعا ادتعى  ادعى). ذكر اذتكر اذدكر). (زهر ازتهر ازدهر). ويجوز بعد هذا القلب أن تقلب الدال حرفا من جنس ما قبلها وتدغم فيه: ( اذكر – ازهر).وقد يعكس الإدغام في بعض ما مر في القانونين الثاني والثالث، وذلك مع التاء والذال والظاء، فتقلب هذه الحروف إلى ما صارت إليه تاء الافتعال ثم تدغم اتأر- ادكر- اطلم).
4- يجوز أن تقلب تاء ( تفاعل وتفعل وتفعلل) ومشتقاتها حرفا من جنس الفاء إذا كان هذا الفاء أحد الحروف الآتية (ث،ذ،د،ز،ص،ض،ط،ظ) ثم تدغم فيهن ثم تجتلب للكلمة فيه همزة الوصل بسبب سكون أولها الناجم عن الإدغام: ( تثاقل إثاقل، تذاكر اذاكر، تدحرج ادحرج، تزين ازين، تصالح اصلح، تضافر اضافر، تطالب اطلب، تظلم اظلم).وربما حدث هذا مع السين والشين:( تسمع اسمع، تشاجر اشاجر) .
5 – إذا وقعت التاء ساكنة قبل الدال، وجب قلبها دالا وإدغامها في الدال التي بعدها، (عتود عتدان عدان ).
6- إذا وقعت النون ساكنة قبل الميم أو الباء، وجب قلبها ميما، فإن كانت الميم هي التي بعدها قلبت لفظا وخطا وأدغمت (انمحى امحى)، أما إن كانت الباء هي التي بعدها، فالقلب في اللفظ لا في الخط ( سنبل سمبل).
7- تقلب الواو في كلمة (فو) ميما وجوبا في حالة الإفراد (الفم) أما في حالة الإضافة، فيجوز القلب وعدمه (فوك= فمك).
إبدلات سماعية:
استكمالا للبحث نورد هنا طائفة من الإبدالات مما لا يخضع للقواعد العامة التي مر ذكرها، ويندرج في هذه الطائفة ثلاثة أنواع من الإبدال:
1- إبدال لهجي كإبدال بني تميم العين من همزة (أن).
2- إبدال سماعي تبنته الفصحى، ولم تقس عليه، كإبدال الفاء من الثاء في (ثوم فوم)
3- إبدال لا تقره القوانين، وليس له تفسير سوى انه ضرورة شعرية وذلك كإبدال الشاعر الياء من السين (السادس = السادي)[4][5]
الإبدال

الإبدال: هو جعل حرف مكان آخر في الكلمة، مثل فناء الدار، وثِناء الدار، حيث جعل الثاء بدل الفاء؛ والإبدال أنواع:
الإبدال الصرفي (الشائع): وهو جعل حرف مكان آخر لضرورة لفظية: إما لتسهيل النطق أو لمجاراة الصيغة الشائعة، وهو إبدال مطرد ضروري عند جميع العرب، ويقع في حروف معينة يجمعها لفظ (طال يوم أنجدته) ومن أمثلته:

فَعَل
افتعل قبل التغيير
افتعل بعد التغيير
تغيير
تغيير
صفا
اصتفى
اصطفى


ضرب
اضترب
اضطرب


ضرّ
اضتُرّ
اضطُرّ


صلى
اصتلى
اصطلى


طرد
اطترد
اطْطَرد
اطّرد

زهر
ازتهر
ازدهر


زجر
ازتجر
ازدجر


ذكَر
اذْتكر
اذْدكر
ادْدَكر
ادّكر

ومن الإبدال الصرفي الإعلال وهو: تغيير حرف العلة (الواو ، أو الياء، أو الألف) والهمزة، مثل:
سماو  ←  سماء
بايِع   ←  بائع
قاوِل  ←  قائل
صوَم ← صام
بيَع    ← باع
اوتفق  ← اِتتفق ← اتّفق
الإبدال اللغوي: هو جعل حرف مكان آخر لغير ضرورة لفظية، مثل:
لِثام و لِفام.
أرمد و أربد.
مرَث الخبز ومرده.
شثن الأصابع (غليظ) و شثل الأصابع.
الأيْم (الحية) والأين.
موت ذُؤاف وذُعاف
الظأْب (سلف الرجل) والظأْم.
عَجْب الذنَب (عصعصه) وعَجْم الذنب.
الحُثالة والحُفالة.
الثُّوم والفوم.
الإبدال اللغوي القياسي:
قال البطليوسي: مِنْ هذا الباب ما يَنْقاس‏:‏ وهو كلُّ سينٍ وقعت بعدها عينٌ أو غينٌ أو خاءٌ‏ أوقافٌ أو طاءٌ جاز قلبُها صاداً.
وشرطُ هذا الباب أن تكون السينُ متقدَّمةً على هذه الحروف لا متأخرةً بعدها، وأن تكونَ هذه الحروفُ مُقارِبةً لها لا متباعدة عنها، وأن تكون السين هي الأصل، فإن كانت الصاد هي الأصل لم يَجُزْ قلبُها سيناً لأن الأضْعفَ يُقْلَب إلى الأقوى ولا يُقْلَب الأقوى إلى الأضْعَف وإنما قلبوها صاداً مع هذه الحروف لأنها حروفٌ مُسْتَعلية والسينُ حرف مُتَسَفِّل فثقُل عليهم الاستعلاء بعد التَّسفل لما فيه من الكُلْفة فإذا تقدّم حرفُ الاستعلاء لم يُكْرَه وقوعُ السين بعدَه لأنه كالانْحِدار من العلوّ وذلك خفيفٌ لا كُلْفةَ فيه‏.‏
ومن أمثلته:
 القُعاس والقُعاص‏:‏ داء يأخذُ في الصّدر.
 السُّقع‏‏ والصُّقع: النَّاحِية من الأرض.
الأسْقع والأصْقَع‏:‏ طائر كالعصفور.
خطيب مِسْقَع‏ ومِصْقَع: بليغ.
دليلٌ مِسْدَع ومِصْدَع‏:‏ حاذق.
الرُّسْغ‏‏ والرُّصْغ: مُنْتَهى الكفّ عند المفصل.
سِماخ وصِماخ‏:‏ ثقْب الأذُن.
الخِرْسَة والخِرْصَة ‏:‏ ما تُطْعمَه النُّفساء.
السراط والصراط.
السوط والصوط.
الاختلاف حول الإبدال: اختلف العلماء حول ما يدخل في دائرة الإبدال وما يخرج عنها، ويمكن تمييز ثلاثة آراء رئيسة في هذا الباب:
رأي المتوسعين: يرون أنّ الإبدال قد يقع بين كل حرف وآخر من حروف اللغة، سواء كانت متقاربة المخارج أو كانت متباعدتها. وممن قال بهذا أبو الطيب اللغوي الذي عدّ من الإبدال الذاب والذان "العيب" برغم تباعد مخرجي النون والباء. ومن هؤلاء الكرملي، الذي قال إن الإبدال يتسع في جميع حروف اللغة، ومنهم أبو الحسن بن الصائغ الذي يقول: قلما نجد حرفا من حروف اللغة إلا وقد جاء فيه الإبدال ولو نادراً.
رأي المضيقين: وهم الذين وضعوا شروطا لتحقق الإبدال، ومن هؤلاء ابن جني الذي اشترط (1) تقارب المخارج؛ لذا أخرج منه الذاب والذان، (2) اتحاد اللغة؛ لذا أخرج منه اللثام واللفام لاختلاف اللغات، (3) ألا يكونا أصلين؛ لذا أخرج منه (رجل تُدْرأ): "ذو قوة على الدفع" و(رجل تُدْره): "ذو عز"؛ لأنهما -على حدّ زعمه- أصلان متميزان.
رأي المتوسطين: يمثلهم ابن سيده الذي اشترط فقط تقارب المخرجين.
الاشتقاق الإبدالي
هناك من اللغويين من رأى في الإبدال وتقارب مخارج حروف الكلمة ومعانيها نوعا من الاشتقاق، وسماه بعضهم بالاشتقاق الكبير أو الأكبر، وبما أن تقليب الحروف يُدْعى مرة بالاشتقاق الأكبر ومرة بالكبير فيحسن أن نسمي هذا الإبدال الاشتقاق الإبدالي. ومن كلامهم عنه يمكن تعريفه بأنه: ردّ الكلمات إلى أصل واحد إذا تدانت معانيها وتقاربت حروفها في المخارج أو في الصفات . وقد أورد ابن جني في باب تصاقب الألفاظ  لتصاقب المعاني أمثلة كثيرة تصلح له، ويمكن تمييز ثلاثة أنواع منه بحسب عدد الحروف المتقاربة في المخرج أو في الصفة:
1) مقاربة في حرف:
جرف ‏"قشر وجه الأرض" وجلف "قشر"؛ هنا تقاربت (ر) و (ل) لأنهما حرفان ذلقيان.
العَلْب‏:‏ "الأثر والعَلْم‏:‏ "الشقّ في الشفة العليا،" وهما متقاربان في المعنى؛ و (ل) و (م) حرفان شفويان.
الغَرب‏:‏ "الدلو العظيمة" والغرف "أخذ الماء بإناء"؛ و (ب) حرف شفوي و (ف) حرف شفوي أسناني.
هديل وهدير: أصوات؛ و (ل) و (ر) حرفان ذلقيان.
جبل "اجتمع وغلظ" وجبن :"استمسك وتجمع"؛ و (ل) و (ن) متقاربان لأنهما ذلقيان.
2) مقاربة في حرفين:
‏(س ح ل) ‏ و (ص هـ ل) أصوات؛ و (س) و (ص): الأول غير مطبق والثاني مطبق، و(ح) و (هـ) حرفان حلقيان‏.
سحل وزحر أصوات؛ و(س) و (ص): الأول غير مطبق والثاني مطبق؛ و (ل) و (ر) ذلقيان.
جلف وجرم يفيدان معنى "القشر"، و (ل) و (ر) ذلقيان؛ و (ف) و (م) متقاربان في المخارج؛ لأن الأول شفوي أسناني، والثاني شفوي أنفي.
3) مقاربة في ثلاثة أحرف:
زأر وسعل أصوات؛ (ز) و (س) حرفا صفير؛ و (أ) و (ع) حلقيان؛ و (ر) و (ل) ذلقيان.
زأر و صهل  (ز) و (س) حرفا صفير؛ و (أ) و (هـ) حلقيان؛ و (ر) و (ل) ذلقيان.
غدر و ختل تدلان على " الفعل في خفاء"؛ و (غ) و (خ) حلقيان؛ و (د) و (ت) أسنانيان لِثويان؛ و (ر) و (ل) ذلقيان.[6]



[1] http://zahra1.com/Nah_Em_7att_balagah/G_6_e3lal_ebdal.html
[2]
[3] http://zahra1.com/Nah_Em_7att_balagah/E-e3lall.html
[4] http://dmimouni.maktoobblog.com/923373/
[5] http://www.hesnoman.com/vb/showthread.php?t=9518
[6] http://www.angelfire.com/tx4/lisan/fiqhlughah/ibdal.htm